Friday, September 29, 2006

telat

Jam 03.00 pagi. Wanita paruh baya itu terlihat panik. Mondar-mandir. Mengangkat ini, meletakkan itu. Jam segini, begitu aku duduk di mejanya, biasanya dia langsung menyajikan segelas teh panas kemudian bertanya : "sayur atau tumpang, Mas ?". Tidak untuk kali ini. Aku harus menunggu bersama beberapa orang lain dan menyaksikan kepanikannya sembari menikmati beberapa gorengan yang sudah tersaji lebih dulu.

Telat. Biasanya jam 01.00 wanita itu telah menyalakan tungku. Pagi ini, jam 02.10 dia baru terbangun. Beberapa menit menjelang imsak dia baru bisa mengangkat nasi yang dimasak.

Kebul asapnya masih tampak jelas. Tidak mungkin jam segini aku menikmati nasi yang masih "mongah-mongah". Lagi pula, biasanya kalau nasi dimasak dengan buru-buru ke-"tanak"-annya meragukan. Niat makan sahur di warungnya harus urung. Padahal sudah terlanjur nunggu. Lumayan lama.

Besok saja ya Bu saya ke sini lagi. Tapi ibu jangan bangun telat lagi.... :)

mongah-mongah : panas sekali
tanak : matang

Friday, September 22, 2006

mereka vs aku

Puasa. Jika mereka menyiapkannya dengan berbagai target tarbiyah di Ramadhan, aku menyambutnya dengan re-scheduling dan,... hunting masjid-masjid yang nanti akan menyediakan buka bersama gratis. GRATIS,...

Monday, September 18, 2006

tikus makan tikus

Aku sudah mencoba acuh tak acuh dengan apa yang kamu lakukan. Tapi kejadian sore itu membuat aku menyatakan : PERANG denganmu!
.......................

Sore itu aku dikejutkan dengan kelakuan komputerku. Dia membantah perintahku. Mouse yang ku gerak-gerakkan tidak diikuti gerakan kursor. Mbegegeg, ora obah babar blas! Tubuh tikus itu juga terasa ringan sekali ketika ku gerakkan. Tidak seperti biasanya. Lalu ku angkat badannya dengan maksud melihat roda yang ada di dasar. Alangkah terkejutnya aku. Ekornya (baca : kabel) putus. Tersangka utama : tikus. Bukti : ada bekas gigitan di kabel itu. Mirip dengan anatomi gigi tikus.

Mengetahui hal itu aku berharap masih bisa menggunakan keyboarku. Ku pencet-pencet beberapa key. Ternyata dia sama bandelnya dengan si mouse. Di layar tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Jangan-jangan,.... Oh, ternyata dia senasib dengan kawannya (mouse). Kabelnya terputus. Tersangkanya sama : binatang berbulu yang menjijikkan dan "nggragas" itu !

AWAS kamu!

medeni malah wedi

Sorot senter datang dari balik kegelapan dibawa oleh 3 orang mahasiswa yang tengah menjalani jalan malam di bumi perkemahan batu seribu, sukoharjo, Minggu pagi kemarin. Aku dan Noeg bersiap diri. Kami berdua mendapat jatah menghuni pos bayangan 18. Pos yang gelap. Lebih gelap dari bayangan kami sendiri. Kami bersembunyi dilereng-lereng.

Beberapa saat, pembawa senter itu telah beberapa meter jaraknya dengan tempat kami bersembunyi. Noeg melemparkan batu ke arah semak-semak hitam. Krusek! Beberapa detik kemudian aku berdiri menampakkan diri dengan tubuh terbalut sarungku yang berwarna putih. Senter yang aku bawa aku nyalakan dari balik sarung. Lalu Noeg bersuara : Iiiih,..hih,...hih,..hih,....

Mereka mengarahkan senternya kepadaku. "Mbak, jatuh lho, Mbak. Eh, Mas apa Mbak sieh ?", kata salah satu dari mereka. Wah, gagal.

Aku kembali duduk dan mencari bebatuan yang akan kami lempar kembali nanti ketika ada mahasiswa baru yang melewati pos kami. Tengah kami menunggu,..."EH, Mar, apaan tuh ?" Noeg berbisik padaku."Mana ?"Lalu Noeg mengarahkan senternya ke rawa-rawa di depan kami. Ke tepian sungai. "Itu, ada dua mata disana. Pindah-pindah. Tadi di sebelah sana, sekarang di sebelah sana".

Cahaya yang mirip mata itu menakuti kami. Noeg lari menaiki lereng. Aku dibelakangnya. Kepanikanku bertambah ketika Noeg kesulitan menaiki lereng itu. Apa-apa yang ada di sekelilingku ku gunakan pegangan untuk menaiki lereng. Alhasil, aku memegang pohon nanas yang penuh duri yang ada di atas tempat persembunyian kami. Cles.... pergelanganku perih tertusuk duri-duri kecil.

Kami lalu berpindah tempat ke pinggir jalan. Ku gelar sarung, dan aku tidur di atasnya. Menatap langit-langit malam penuh bintang. Dingin dan menegangkan (baca : menakutkan).

Demi mengikuti acara itu, aku harus libur dari jadwalku mengambil jimpitan di kampung, gagal bertemu dengan kakakku, dan tidak terhubungi oleh siapapun karena hpku selalu no network.

mimpi nenekku

Terkadang kita dipusingkan dengan klenik dan pola pikir orang dahulu. Tidak bisa dinalar dan tidak masuk akal namun cukup kuat mengakar dan membudaya.
.........................

Di atas meja di rumah nenekku ada air teh yang ditempatkan di dalam sebuah mangkuk. Tidak seberapa banyak isinya, namun cukup mampu mengundang semut untuk turut mencicipinya. Semula aku kira air itu adalah air makuto dewo yang dulu sempat menjadi minuman terapi nenekku. Melihat aku memperhatikan mangkuk itu, nenek berkata bahwa air itu adalah teh yang disediakan untuk mendiang mbah Soikromo. Aku tahu, dia adalah neneknya nenekku. Aku hanya tahu namanya. Tidak lebih. Pun seputar kisah hidupnya, aku buta.

Nenekku berkata bahwa malam sebelumnya dia bermimpi. Mbah Soikromo minta teh, tapi yang ditempatkan di mangkuk. Aku pun bertanya : lha opo doyan to mbah ? Nenekku menganggap lalu pertanyaanku.

pajak

Bangunan di Kantor Bersama Samsat kini terasa asing bagiku. Ada pemugaran di sana-sini. Berbeda dengdan tahun yang lalu. Formasinya yang berubah membuatku asing sehingga harus mondar-mandir merunut alur pembayaran pajak kendaraanku.

Pengambilan formulir yang semula ada di samping kanan gedung utama kini berpindah di belakangnya. Tidak nampak dan tidak ada petunjuk kecuali jawaban dari orang-orang yang telah datang lebih dulu dan telah melakukan pengambilan formulir. Petugas loket memungut Rp 5.000,00 seperti yang tercetak pada meterai yang tertempel di dasar formulir.

Berikutnya mengambil stiker untuk gesek nomor mesin. Loketnya ada di depan. Aku harus kembali ke depan bangunan utama. Setelah mendapatkan stiker, ada petugas khusus yang membantu "nggesek". Rp 2.000,00.

Stiker yang sudah berisi nomor mesin harus disahkan. "Sepuluh ribu". Selembar uang puluhan ribu keluar dari dompetku. Yang kali ini agak meragukan. Soalnya tidak ada bukti kuitansi atau pun meterai. Sepuluh ribu lari kemana ya ? Duh, berprasangka buruk.

Setelah disahkan, formulir diproses. Aku mengantri bersama warga yang "taat" lainnya.

Nama di BPKB kendaraanku di panggil. Kendaraan Supra X, tahun 2000 dikenai pajak Rp 115.000,00.

Andai saja pembayaran pajak ini bisa dilakukan secara online seperti her-registrasi mahasiswa. Pasti bisa menghemat biaya operasional dan mengikis ketidakjujuran. Lagi pula tidak harus pergi ke SAMSAT, cukup di warnet. Atau dilakukan dengan credit card. en banget! Tinggal gesek, gak usah antri.

Friday, September 15, 2006

ganti baju




sudah lama pengen ganti baju nieh. bosen sama yang hitam legam. pengen variasi. sudah browse ke web-web yang nawarin "baju" tapi belum ada yang nyantol di hati.

Friday, September 08, 2006

stop buku bajakan

Andai saja ancaman itu diganti : boleh digandakan sebagian atau seluruhnya demi kemajuan pendidikan Indonesia dan kemaslahatan umat manusia.
...........................
Tulisan itu mendominasi spanduk berwarna dasar putih yang membentang di depan teras perpus pusat. Di sudut lain kain itu tertulis sebuah nama penerbit terkemuka : Erlangga. Setiap pembacanya pasti merasa bahwa seruan itu ditujukan padanya. Karena sadar diri sering melakukan "pembajakan". Termasuk aku.

Apa mungkin ini yang menyebabkan rendahnya "harga" pendidikan di Indonesia ? Hampir semua buku cetak menuliskan hak cipta penerbit di halaman-halaman depan. Tak jarang ancaman akan tindakan pembajakan di tulis dengan terang-terangan : denda Rp 500.000.000,- untuk sekedar mengutip, menjiplak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku. Tetapi insan-insan pendidikan di Indonesia masih saja melakukannya. Bahkan "koyo ra duwe dosa". Tenang-tenang saja melakukan tindakan penggandaan ilegal.

Terlepas dari itu semua, namanya seruan bisa didengarkan, bisa juga dianggap angin lalu. Seperti seruan-seruan pemerintah : stop pembalakan liar; seruan-seruan pendemo yang turun ke jalan-jalan : stop agresi Israel!

Thursday, September 07, 2006

wibawa pendidikan

Sebut saja dia Ron. Pemuda yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai S2 saja (baca : SD-SMP). Kini sedang menginjak usianya yang ke-23. Seorang pemuda lugu, namun beretos kerja tinggi. Sayangnya etos kerjanya tidak terdukung oleh latar belakang pendidikan dia. Dia termasuk satu diantara pemuda yang mempunyai keluarga "bermasalah". Jika sedang jajan atau sekedar nongkrong di luar maka masalah-masalah yang menggayut di pikiran adalah topik yang sering dia curahkan kepada lawan bicaranya. Tentu saja hanya yang menurut sepengetahuannya bisa dipercaya. Bisa menjadi "keranjang sampah" tempat dia membuang segala keluh kesah tanpa mengabarkannya ke khalayak.

Setiap kali dia menerima uang pengganti keringat dari pekerjaan "tidak tetapnya", dia gunakan beberapa puluh ribu uang itu sebagai bekal untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Ya. Pekerjaan tidak tetap, karena profesi dia sesungguhnya adalah pemuda "pengangguran" dan pekerjaan "tidak tetap" itu datang kepadanya dalam waktu yang bisa dihitung dalam setahun.

Terkadang dia bekerja di BCA (Bagian Campur Aduk, baca : kuli bangunan yang tugasnya membuat adonan semen+pasir). Beberapa minggu yang lalu dia juga tergabung dalam sebuah bisnis di Panasan (jawa; tempat yang terik). Di sana dia mengangkut lungko untuk dikirim ke rumah-rumah yang hendak menjadikan tanah kering itu menjadi batu-bata. Profesi sebagian besar penduduk desanya. Uang yang hanya beberapa puluh ribu, lagi dia gunakan sebagai uang saku untuk menilik tempat-tempat yang menyediakan informasi lowongan kerja di kota. Uang bensin, dan uang terima kasih yang sering dia wujudkan dalam bentuk traktiran, untuk teman yang mau menemaninya. Atau untuk mengantarkan map biru berisi ijazah ke tempat-tempat yang dia tahu sedang membutuhkan tenaga tambahan. Tentu saja yang sesuai dengan background pendidikannya. Harapan akan penghidupan yang lebih baik begitu memberinya dorongan mencoba dan mencoba. Banyak lapangan kerja kini mensyaratkan minimal pendidikan S3 (SD-SMP-SMA)

Pagi-pagi benar dia datang ke rumah salah seorang teman. Bertanya apakah mempunyai agenda yang begitu padat siang nanti. Dalam hatinya ada maksud mengajak temannya itu untuk mengantarkan surat lamaran ke salah satu CV penyalur di kota.

"Aku wis nilpun, jarene lulusan SMP iso", (Aku sudah menghubungi lewat telfon, katanya lulusan SMP bisa.) katanya kepada temannya itu setelah kemarin menelfon CP dari CV tersebut. Yang diajak kebetulan tidak begitu banyak disibukkan dengan aktivitas.
"tapi biasane nganggo jaminan telung yuto lho, Ron" (Biasanya memakai uang jaminan tiga juta lho, Ron)
"Ra popo, Mar. Sing penting aku kerjo." (Tidak apa-apa yang penting aku bisa kerja.)Dia mempunyai celengan sekitar 5 juta uang kendaraan yang dia jual beberapa tahun lalu.

Siang itu berangkatlah dia duduk, dibelakang dibonceng temannya, ke Jl. Ir. Sutami. Tepatnya sebelah barat TBS (Taman Budaya Surakarta). Spanduk warna hijau bertuliskan nama CV terpampang pada sebuah rumah yang jika dilihat dari depan ukurannya hanya beberapa meter saja. Di bawah nama CV tertulis : SIUP dan diikuti beberapa digit angka. Tidak tahu apa kepanjangannya. Surat Ijin Usaha Penyalur (???).

Beberapa saat dia berbincang dengan mbak resepsionis. Untuk mengikuti wawancara, Ron harus mengisi formulir dan membayar sejumlah uang. Setelah wawancara, dia diminta menyerahkan uang tiga juta : dua juta dititipkan pada CV dan sisanya dipotong gaji bulanan. Dengan keraguan akan keabsahan CV tersebut, dia menyerahkan uang syarat mengikuti wawancara. Kemudian dia menerima sebuah kartu seukuran kartu nama, kartu anggota pencari kerja.

Keesokan harinya, dia menarik uang tabungannya di bank yang dua juta kemudian memenuhi syarat yang diajukan oleh CV itu. Kali ini dia mengantarnya sendiri. Teman yang kemarin ada janji dengan dosen di kampus.

Esoknya, lagi dia menemui temannya dan menunjukkan kopian surat perjanjian dan surat pernyataan bermeterai serta sebuah kuitansi sebagai tanda uang yang telah dia serahkan. Anehnya dalam surat perjanjian itu tertulis : "Surat perjanjian ini bermeterai rangkap dua", tapi dia hanya membuatnya satu saja. Yang asli dibawa CV dan yang dia bawa adalah duplikatnya. Dan kini hari-harinya adalah penantian. Menanti dihubungi dari pihak CV untuk ditempatkan kerja sebagai operator SPBU di wilayah sekitar Solo. Seperti iklan yang dia baca di salah satu stasion TV swasta lokal.

Andai saja pemerintah bisa meningkatkan wibawa pendidikan. Tentu akan semakin sedikit orang yang mengatakan : wong pinter wis akeh, sekolah rasah dhuwur-dhuwur (Sudah banyak orang pintar, tidak usah sekolah terlalu tinggi).


lungko : tanah sawah, tanah kering yang ada di sawah.