Friday, October 27, 2006

televisi kita

Denger-denger, penyanyi cantik nan seksi : Madonna tidak mempunyai TV di rumahnya. Bukannya tidak mampu membeli, namun dia tahu efek negatif yang bisa disebabkan oleh benda elektronik itu. Dia tidak mau anak-anaknya "rusak" karena media audio-visual itu.
.................................................

Pernah beberapa waktu yang lalu mencuat ke permukaan tentang isu-isu kekerasan yang menyertai tayangan kartun Sinchan. Terlepas dari tindak lanjut dari stasiun televisi maupun pihak terkait dengan hal ini, kini muncul lagi (wajah lama) tayangan-tayangan yang sarat kekerasan yang perlu mendapat kewaspadaan pemirsanya dan masyarakat Indonesia.

Wajah lama, karena dulu program serupa sempat tayang juga di Indosiar. Siang hari. Namun, kiranya tontonan ini mulai ditinggalkan pemirsanya setelah mereka tahu bahwa kekerasan yang mereka saksikan, menurut mereka, diatur dengan skenario.

Kini muncul lagi tayangan serupa. Tayangan yang mempertontonkan adu otot, banting
sana-banting sini, sungguh memanjakan para pemirsa yang memfavoritkannya. Pasalnya, tontonan ini mulai ditayangkan jam 21.30 dan baru selesai beberapa jam setelahnya. Bahkan sampai pagi. Tindakan pihak stasiun TV yang telah mengatur jam tayang dengan menayangkan tontonan ini pada jam malam mungkin bisa membuatnya ditolerir. Namun, ternyata rekamannya dapat pula diperoleh dalam bentuk kepingan CD, yang dijual bebas, dengan harga murah, lagi. Sama juga bohong.

Para orang tua yang tidak mewaspadai, atau tidak tahu, akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh adegan-adegan kekerasan tersebut dipastikan tidak akan berpikir panjang sebelum memutuskan apakah akan membeli CD tersebut untuk anaknya atau tidak.

Saya menuliskan ini karena terpicu oleh tontonan (nyata) beberapa waktu lalu. Beberapa anak bermain. Salah satu diantara mereka menirukan gaya John Cena, salah satu atlet (aktor) yang sering muncul dalam program tersebut. Lalu mengunci leher temannya dengan lengannya. Yang dikunci sempat terbatuk-batuk karena kesulitan bernapas. Tidak hanya itu saja. Berulang kali dia mencoba memeragakan : membanting temannya, persis seperti adegan kekerasan yang banyak juga ditonton oleh masyarakat setempat, asal "olahraga" ini.

Tindakan preventif sebaiknya dilakukan para orang tua agar anak-anaknya tidak menyaksikan adegan-adegan kekerasan yang kemungkinan besar akan di"latah"i mereka. Lebih bagus lagi jika upaya yang dilakukan para orang tua ini dibarengi dengan kerja sama pihak televisi untuk menayangkan tontonan hiburan yang mendidik. Bila tidak cukup mendidik, biarlah tontonan itu murni hiburan saja, tanpa ada sisi negatif yang kemungkinan akan merusak generasi penerus bangsa ini. Karena penyesalan selalu datang belakangan.

Thursday, October 05, 2006

bisa-bisa aja

Sebuah iklan yang baik adalah yang mampu mempengaruhi orang untuk membeli produk/menggunakan jasa yang ditawarkan. Lebih baik lagi jika iklan tersebut mengandung "sesuatu" yang mampu tertanam dalam alam bawah sadar manusia.
.....................
Yus, mungkin dia tidak tahu kalau dalam keadaan lapar manusia cenderung lebih sensi dari biasanya, namun dia tahu kalau tingkahnya telah berhasil membuat aku sedikit kesal. Sayangnya, dia terus saja melakukannya. Hingga pada klimaksnya, aku harus pura-pura marah (baca : memunculkan wibawa) agar dia mau merubah kelakuannya. Tapi, ...mas katanya kalo puasa musti sabar ya, mas.Katanya sambil menirukan iklan di TV. Konyol!

Yus, mungkin dia tidak tahu kalau dalam keadaan lapar manusia cenderung lebih sensi dari biasanya, namun dia tahu kalau tingkahnya telah berhasil membuat aku sedikit kesal. Sayangnya, dia terus saja melakukannya. Hingga pada klimaksnya, aku harus pura-pura marah (baca : memunculkan wibawa) agar dia mau merubah kelakuannya. Tapi, ...

mas katanya kalo puasa musti sabar ya, mas.

Katanya sambil menirukan iklan di TV. Konyol!

Lain lagi dengan Ren. Pertemuan kemarin dia tampak payah dalam hal konsentrasi. Sama, aku berusaha agar wajah mengekspresikan kekesalan. Dalih dia :

kehilangan 2% cairan tubuh.

Kalau seperti ini, yang hilang bukan 2% lagi, tapi 98%, timpalku.

Sunday, October 01, 2006

puasa (2)

Pemandangan di bulan Ramadhan tahun lalu kembali tergambar di Masjid Jami' Assegaff. Ketika datang, telah duduk beberapa shaf anak-anak dan orang tua. Yang tua hikmat mendengarkan ceramah dari pemuda bergamis putih dan berpeci kecil yang duduk bersila di depan. Yang anak-anak sibuk bermain, memperhatikan ini dan itu namun sedikit sekali ceramah mendapat perhatian mereka.

Ada dua buah kamera yang mengabadikan peristiwa menjelang berbuka sore itu. Satu dipanggul berkeliling merekam jamaah yang duduk menanti waktu berbuka. Satu lagi berada di atas tripod, men-shoot pemuda yang berceramah. Pada penutup lensa kamera itu tertempel sebuah stiker bertuliskan : MJA TV. Masjid Jami' Assegaff TV ?

Tak lama, sekawanan orang-orang berwajah tawadzu dan berdahi yang menggambarkan kekhusyukan keluar dari salah satu sudut masjid. Sebagian meletakkan lepek di depan tempat kami duduk bersila. Lepek yang sama dengan lepek tahun lalu. Lepek plastik kecil berwarna merah jambu. Sebagian lagi menaruhi lepek-lepek itu dengan, jika tahun yang lalu tiga butir, lima butir kurma. Menyusul sebagian yang lain menuang secangkir kopi hikmah lalu membagikan kepada kami. Salah satu diantara mereka meletakkan sebuah ember plastik besar bertuliskan : TEMPAT CANGKIR dan beberapa keranjang bertuliskan : TEMPAT LEPEK.

Beberapa menit menjelang buka. Sang penceramah memimpin kami berdoa. Ketika adzan dikumandangkan, kami menyantap kurma dan kopi yang telah dibagikan. Yang sudah selesai, mengembalikan lepek dan cangkir ke tempat di depan yang telah disediakan.

Jamaah kini terkonsentrasi di tempat wudlu. Antri satu persatu untuk menyucikan diri dari hadats kecil.

Selesai sholat maghrib, sekawanan orang yang membagi hidangan tadi kembali keluar dari sudut kanan masjid. Masing-masing membawa sekeranjang kardus putih berisi nasi yang akan dibagikan kepada jamaah. Mereka masuk di depan shaf kami, menghulurkan keranjang itu dan jamaah yang ada di depannya menyambutnya, mengambil satu kardus. Mereka terus berjalan ke arah jamaah hingga shaf yang terakhir.

Yang tidak berubah dari tahun lalu : wajah yang khusyu dan hikmat itu, teduh dan jauh dari kesan garang, tegang, ataupun kaku. Mereka bagikan hidangan berbuka dengan langkah tenang, dan .... cuma-cuma.