Monday, September 18, 2006

medeni malah wedi

Sorot senter datang dari balik kegelapan dibawa oleh 3 orang mahasiswa yang tengah menjalani jalan malam di bumi perkemahan batu seribu, sukoharjo, Minggu pagi kemarin. Aku dan Noeg bersiap diri. Kami berdua mendapat jatah menghuni pos bayangan 18. Pos yang gelap. Lebih gelap dari bayangan kami sendiri. Kami bersembunyi dilereng-lereng.

Beberapa saat, pembawa senter itu telah beberapa meter jaraknya dengan tempat kami bersembunyi. Noeg melemparkan batu ke arah semak-semak hitam. Krusek! Beberapa detik kemudian aku berdiri menampakkan diri dengan tubuh terbalut sarungku yang berwarna putih. Senter yang aku bawa aku nyalakan dari balik sarung. Lalu Noeg bersuara : Iiiih,..hih,...hih,..hih,....

Mereka mengarahkan senternya kepadaku. "Mbak, jatuh lho, Mbak. Eh, Mas apa Mbak sieh ?", kata salah satu dari mereka. Wah, gagal.

Aku kembali duduk dan mencari bebatuan yang akan kami lempar kembali nanti ketika ada mahasiswa baru yang melewati pos kami. Tengah kami menunggu,..."EH, Mar, apaan tuh ?" Noeg berbisik padaku."Mana ?"Lalu Noeg mengarahkan senternya ke rawa-rawa di depan kami. Ke tepian sungai. "Itu, ada dua mata disana. Pindah-pindah. Tadi di sebelah sana, sekarang di sebelah sana".

Cahaya yang mirip mata itu menakuti kami. Noeg lari menaiki lereng. Aku dibelakangnya. Kepanikanku bertambah ketika Noeg kesulitan menaiki lereng itu. Apa-apa yang ada di sekelilingku ku gunakan pegangan untuk menaiki lereng. Alhasil, aku memegang pohon nanas yang penuh duri yang ada di atas tempat persembunyian kami. Cles.... pergelanganku perih tertusuk duri-duri kecil.

Kami lalu berpindah tempat ke pinggir jalan. Ku gelar sarung, dan aku tidur di atasnya. Menatap langit-langit malam penuh bintang. Dingin dan menegangkan (baca : menakutkan).

Demi mengikuti acara itu, aku harus libur dari jadwalku mengambil jimpitan di kampung, gagal bertemu dengan kakakku, dan tidak terhubungi oleh siapapun karena hpku selalu no network.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home