Friday, August 25, 2006

whisper

Ibarat sungai, nurani adalah air dan hidup kita adalah sehelai daun yang hanyut di atasnya. Tebal telinga terhadap bisikannya sering mengecewakan, dan terkadang berakibat ketidaknyamanan
.................................
Minggu, ba'da maghrib. Seperti ba'da maghrib di hari minggu sebelumnya, aku harus memberi les Apsa. Rumahnya sekitar 8 km dari tempat tinggalku. Untuk mencapainya, aku menyusuri jalan-jalan yang di apit bentangan sawah.

Gelap, kendaraku harus hati-hati. Ditambah lagi serangga-serangga yang keluar di waktu-waktu selepas maghrib sampai isya'. Orang jawa menyebutnya : samber mata. Terbang binatang-binatang itu membuatku serba salah. Jika kaca helm tidak dipasang, mata ini kalau lagi sial harus menjadi habitat sementara bagi mereka, sebelum mereka mati! Jalannya di dinding-dinding bola mata sungguh menyakitkan. Jika kaca helm dipasang, memang sieh mata ini aman dari mereka, tapi harus bekerja maksimal untuk mengamati jalan-jalan yang ada di depan. Seringkali gara-gara mata ini terhalang kaca helm, aku hampir menabrak orang yang bersepeda onthel. Tahulah,... pantat sepeda ontel tidak dilengkapi lampu seperti pantat kendaraan. Kemunculan mereka terkesan tiba-tiba.

Sebelum berangkat tadi, sebenarnya ingin sekali menelepon Apsa menanyakan tentang mau les atau tidak. Di kalender, besok itu tanggal merah. Tapi, kemarin rabu khan aku sudah absen, masak hari ini absen lagi.
Dalam perjalanan, aku berharap menemukan warung telkom. Namun yang ada hanyalah gubuk. Jangankan telepon, penerangan pun tidak ada. Pulsa di HPku tinggal Rp 368,-. Terlalu sayang kalau digunakan untuk mengirim SMS menanyakan perihal les. Pulsa yang hanya cukup untuk satu SMS ini akan kugunakan untuk hal lain yang lebih urgen.


Sesampainya di rumah Apsa, aku disambut pemuda umur belasan tahun. Tinggi jangkung.
"Apsa ada, Yan ?"
"Gak ada tuh, Mas"
Tuh khan,...
"Kemana ?"

"Ke Jogja"
"Ibu-Bapak juga ke Jogja ?"
"EH, engga ding. Mama-Papa ke Jogja, Apsa ke rumah temennya"
Salut(?), aku tanya : Ibu-Bapak, dia jawabnya : Mama-Papa.
"Mau ngelesi to, Mas ?"
"Iya. Tapi kalau Apsa tidak ada ya sudah. Mas pulang saja."

Duh, kecele.

Tuesday, August 22, 2006

ala eropa

Yang ada sekarang, yang berbau luar negeri, import, adalah lebih membanggakan
daripada buatan negeri sendiri. Layaklah jika pernah pemerintah menggalakkan budaya ACI
(Aku Cinta Indonesia).
..........................................................
Lelaki setengah baya duduk di belakang sebuah mimbar yang tidak seberapa tingginya. di dahi yang separuh tertutup peci nampak sebuah rona hitam pertanda tekun sujudnya kepada Sang pencipta. lelaki itu mengisahkan perihal sejarah orang-orang Indonesia pada zaman dulu. Sebuah penjajahan panjang yang mereka alami. Dia juga menghubungkan dengan zaman sekarang.

Imperialisme modern yang telah mengalihkan cara penjajahan dari penjajahan fisik menjadi penjajahan di bidang ilmu dan budaya.

Lugas, beliau mengisahkan, tata cara berpakaian. Berpakaian kita saat ini adalah buah dari imperialisme modern. Anehnya beliau bukannya menambahkan cara berpakaian yang "buka-bukaan" saat ini untuk menjelaskan pernyataannya itu tapi,...
"zaman dulu sebelum bangsa eropa datang, tidak ada orang Indonesia yang memakai
baju dimasukkan, nganggo setoet (ikat pinggang)," dia bertutur dengan gaya yang khas : sajak kemaki.

"Cara berpakaian seperti itu ada setelah penjajahan bangsa eropa. Jadi, secara tidak sadar kita telah mengekor gaya eropa. Pakaian yang kita pakai sekarang ini juga pakaian ala eropa."

Weh! Keren! ALA EROPA!

Dalam pertemuan yang kali ke tiga, baru kali ini aku bisa terima kata-katanya. Dulu,... agak kurang sependapat (beda, bolehkan ?!). Dia bercerita tentang pertemuannya dengan para guru fisika, biologi, sejarah, yang notabenenya mereka menyandang gelar S1. Sebuah pertemuan yang menurut penuturannya bisa ditarik kesimpulan bahwa dia "menolak" pengetahuan umum yang sudah bertahun-tahun dipelajari oleh orang yang telah bertahun-tahun pula
mengenyam pendidikan.

Dia bertanya :

Di kala pagi, ketika kita melihat ke timur, apa yang kita lihat ?

Para guru tidak menjawab. Tentu saja. Pertanyaannya terlalu abstrak. Gak jelas. Ambigu.

Seorang sarjana fisika dan biologi yang mempunyai pemikiran eksak pasti akan menjawab : tergantung apa yang ada di sebelah timur kita saat itu. Kalau kita sedang berada di barat sebuah gedung, maka yang ada di timur kita adalah gedung.

Dia menuturkan bahwa pertanyaan itu terjawab oleh orang awam. Orang awam tersebut menjawab : matahari.

Lanjut, dia bertanya, kalau di waktu sore kita melihat ke barat, apa yang kita lihat ?

Para guru juga tidak menjawab. Mungkin terlanjur kecewa atas pertanyaan pertama. Pertanyaan yang tidak terduga jawabannya. Terjawablah pertanyaan itu oleh orang awam yang tadi. Orang itu menjawab : matahari.

Yang bertanya kemudian menarik kesimpulan atas jawaban yang dia peroleh. Kalau pagi hari matahari di timur, kemudian kalau sore matahari di barat, seperti itu siapa yang bergerak ? siapa yang berjalan ?

Yang awam menjawab lagi : matahari.

WOW!

Dia menambahkan : kalau begitu, bumi mengelilingi matahari ataukah matahari mengelilingi bumi? yang mana yang benar ? Yang selama ini kita terima khan : bumi berputar mengelilingi matahari ?! Koq yo percoyo wae ? Opo wis tau mbuktekke ?

Dia berhasil memukul telak para sarjana yang ada di depannya.

ya kalau menurut jawaban-jawaban tadi : matahari BERGERAK mengelilingi bumi. tapi,... masak ilmu yang kita pelajari bertahun-tahun ternyata salah ?

Kalau begitu, teori heliosentris yang sebenarnya telah menggugurkan teori geosentris, kini gugur kembali. Ditumbangkan dengan kesimpulan atas jawaban-jawaban tadi.

Herannya, kenapa sarjana-sarjana itu tidak menjawab : kalau kita naik bis, kita melihat keluar lewat jendela kaca, tampak pohon-pohon berjalan. Kalau seperti itu siapa yang yang bergerak ?

yen ngono sopo sing bodo ?