Thursday, September 07, 2006

wibawa pendidikan

Sebut saja dia Ron. Pemuda yang hanya menyelesaikan pendidikannya sampai S2 saja (baca : SD-SMP). Kini sedang menginjak usianya yang ke-23. Seorang pemuda lugu, namun beretos kerja tinggi. Sayangnya etos kerjanya tidak terdukung oleh latar belakang pendidikan dia. Dia termasuk satu diantara pemuda yang mempunyai keluarga "bermasalah". Jika sedang jajan atau sekedar nongkrong di luar maka masalah-masalah yang menggayut di pikiran adalah topik yang sering dia curahkan kepada lawan bicaranya. Tentu saja hanya yang menurut sepengetahuannya bisa dipercaya. Bisa menjadi "keranjang sampah" tempat dia membuang segala keluh kesah tanpa mengabarkannya ke khalayak.

Setiap kali dia menerima uang pengganti keringat dari pekerjaan "tidak tetapnya", dia gunakan beberapa puluh ribu uang itu sebagai bekal untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Ya. Pekerjaan tidak tetap, karena profesi dia sesungguhnya adalah pemuda "pengangguran" dan pekerjaan "tidak tetap" itu datang kepadanya dalam waktu yang bisa dihitung dalam setahun.

Terkadang dia bekerja di BCA (Bagian Campur Aduk, baca : kuli bangunan yang tugasnya membuat adonan semen+pasir). Beberapa minggu yang lalu dia juga tergabung dalam sebuah bisnis di Panasan (jawa; tempat yang terik). Di sana dia mengangkut lungko untuk dikirim ke rumah-rumah yang hendak menjadikan tanah kering itu menjadi batu-bata. Profesi sebagian besar penduduk desanya. Uang yang hanya beberapa puluh ribu, lagi dia gunakan sebagai uang saku untuk menilik tempat-tempat yang menyediakan informasi lowongan kerja di kota. Uang bensin, dan uang terima kasih yang sering dia wujudkan dalam bentuk traktiran, untuk teman yang mau menemaninya. Atau untuk mengantarkan map biru berisi ijazah ke tempat-tempat yang dia tahu sedang membutuhkan tenaga tambahan. Tentu saja yang sesuai dengan background pendidikannya. Harapan akan penghidupan yang lebih baik begitu memberinya dorongan mencoba dan mencoba. Banyak lapangan kerja kini mensyaratkan minimal pendidikan S3 (SD-SMP-SMA)

Pagi-pagi benar dia datang ke rumah salah seorang teman. Bertanya apakah mempunyai agenda yang begitu padat siang nanti. Dalam hatinya ada maksud mengajak temannya itu untuk mengantarkan surat lamaran ke salah satu CV penyalur di kota.

"Aku wis nilpun, jarene lulusan SMP iso", (Aku sudah menghubungi lewat telfon, katanya lulusan SMP bisa.) katanya kepada temannya itu setelah kemarin menelfon CP dari CV tersebut. Yang diajak kebetulan tidak begitu banyak disibukkan dengan aktivitas.
"tapi biasane nganggo jaminan telung yuto lho, Ron" (Biasanya memakai uang jaminan tiga juta lho, Ron)
"Ra popo, Mar. Sing penting aku kerjo." (Tidak apa-apa yang penting aku bisa kerja.)Dia mempunyai celengan sekitar 5 juta uang kendaraan yang dia jual beberapa tahun lalu.

Siang itu berangkatlah dia duduk, dibelakang dibonceng temannya, ke Jl. Ir. Sutami. Tepatnya sebelah barat TBS (Taman Budaya Surakarta). Spanduk warna hijau bertuliskan nama CV terpampang pada sebuah rumah yang jika dilihat dari depan ukurannya hanya beberapa meter saja. Di bawah nama CV tertulis : SIUP dan diikuti beberapa digit angka. Tidak tahu apa kepanjangannya. Surat Ijin Usaha Penyalur (???).

Beberapa saat dia berbincang dengan mbak resepsionis. Untuk mengikuti wawancara, Ron harus mengisi formulir dan membayar sejumlah uang. Setelah wawancara, dia diminta menyerahkan uang tiga juta : dua juta dititipkan pada CV dan sisanya dipotong gaji bulanan. Dengan keraguan akan keabsahan CV tersebut, dia menyerahkan uang syarat mengikuti wawancara. Kemudian dia menerima sebuah kartu seukuran kartu nama, kartu anggota pencari kerja.

Keesokan harinya, dia menarik uang tabungannya di bank yang dua juta kemudian memenuhi syarat yang diajukan oleh CV itu. Kali ini dia mengantarnya sendiri. Teman yang kemarin ada janji dengan dosen di kampus.

Esoknya, lagi dia menemui temannya dan menunjukkan kopian surat perjanjian dan surat pernyataan bermeterai serta sebuah kuitansi sebagai tanda uang yang telah dia serahkan. Anehnya dalam surat perjanjian itu tertulis : "Surat perjanjian ini bermeterai rangkap dua", tapi dia hanya membuatnya satu saja. Yang asli dibawa CV dan yang dia bawa adalah duplikatnya. Dan kini hari-harinya adalah penantian. Menanti dihubungi dari pihak CV untuk ditempatkan kerja sebagai operator SPBU di wilayah sekitar Solo. Seperti iklan yang dia baca di salah satu stasion TV swasta lokal.

Andai saja pemerintah bisa meningkatkan wibawa pendidikan. Tentu akan semakin sedikit orang yang mengatakan : wong pinter wis akeh, sekolah rasah dhuwur-dhuwur (Sudah banyak orang pintar, tidak usah sekolah terlalu tinggi).


lungko : tanah sawah, tanah kering yang ada di sawah.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home