Monday, November 13, 2006

pilkades

Malam itu adalah malam pertemuan warga dengan bakal calon kepala desa kami. Kami berdua sebagai wakil dari pemuda, datang paling awal dalam pertemuan itu. Setelah bersalaman dengan ketua RW, kami duduk dalam gelaran tikar dengan beberapa asbak di atasnya. Aku memilih yang dekat dengan tiang yang menyangga ruangan itu. Rumah-rumah di desa kami sebagian besar masih menggunakan tipe rumah jawa, rumah joglo, dengan beberapa tiang yang menyangga ruang tamu yang biasanya membentang luas. Dilokasikan untuk menjamu tamu yang jumlahnya banyak.

Beberapa menit kemudian para bapak datang, bersalaman dengan yang empunya rumah, kemudian dengan kami yang datang lebih awal. Daerah persekitaran tiang memang tempat yang strategis dan paling dicari. Alasannya : bisa untuk sandaran. Kami tidak mungkin bersandar di tembok karena luasnya ruangan sehingga tikar digelar tepat ditengah ruangan, dan berjarak sekian meternya dengan tembok.

Tak lama, seseorang berbusana batik yang berwibawa datang diiringi dua orang bapak-bapak yang lain. Yang berbaju batik tidak asing bagi kami. Dia adalah orang yang telah mengucurkan dananya untuk memperbaiki jalan menuju makam beberapa bulan lalu. Dia juga yang dua kali ramadhan, tahun ini dan tahun kemarin, memberi zakat ke masjid kami 50 kg beras. Dia adalah bakal calon kepala desa kami. Dengan mantap dia bersalaman dengan kami. Berkeliling mengitari tempat kami bersila.

Sembari menunggu warga yang belum berkumpul, lelaki itu berbincang mengenai hujan yang baru saja mengguyur sebagian kecil wilayah kami. Menceriterakan tentang kejadian-kejadian yang mengiringinya: tobong yang ambruk, batu bata yang remuk, dll. Aku mencoba memperhatikan cara bicaranya. Berharap bisa menangkap sesuatu yang aku cari: kecerdasan dan kejujuran. Secara fisik, memang ada rona hitam di dahinya. Persangka pertama: tekun sujudnya.

Salah satu bapak yang mengiringinya tadi membuka sebuah bungkusan plastik berisi satu bos rokok. Dia membuka karton rokok itu dan membagikan kepada kami semua. Satu kepala, satu bungkus. Sebelum sampai ke tempatku, sempat terpikir: yang ngga ngrokok kebagian tidak ya ? Soalnya aku gak ngrokok nieh...
Jam delapan, pak RW yang juga empunya rumah membuka acara. Setelah mengucapkan syukur kepada Allah, ketua rukun warga itu mempersilakan bakal calon untuk berbicara. Yang dipersilakan lalu mengucapkan salam dan mulai berbicara. Bakal calon, yang saat ini masih calon tunggal, berbicara dengan lirih dan menunduk. Bicaranya juga terlihat sekali seperti orang menghafal. Suara lirih menandakan kekurangtegasan. Menunduk menggambarkan ketidakpercayaan diri. Tangannya juga sering melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang yang dilanda grogi. Persangka kedua: tidak tegas dan tidak percaya diri. Bagaimana bisa memimpin warga kami ? Berbicara di depan sebagian kecil warga saja bersikap seperti itu, bagaimana nanti jika diminta memberi sambutan dalam acara-acara hajatan? Bahasa jawanya juga masih grak-grek.


Setelah meminta doa restu dan dukungan dari warga agar dia berhasil menjadi kepala desa, dia mempersilakan warga yang hadir untuk menyampaikan uneg-uneg ataupun permintaan. Ada yang meminta dibuatkan gudang penyimpanan bolo pecah milik desa kami, ada juga yang meminta agar ke depan jika ada bantuan dari pemerintah, dikelola dengan baik.

Beberapa orang telah bicara, pak RW lalu kembali mengangkat bicara. Intinya, dia meminta sang bakal calon dan wakil dari pemuda (kami), setelah acara ini tinggal sebentar. Aku tersenyum. Dugaan: dia akan menjadikan dirinya sebagai perantara wakil pemuda untuk menyampaikan "permintaan" dari karang taruna.
Pikirku, sangat tidak baik jika kami hanya bertemu beberapa mata saja. Lebih baik apa yang kami minta juga disaksikan oleh warga. Aku mengangkat bicara.
"Pak, apa yang disampaikan pada malam hari ini, insyaallah akan kami sampaikan ke rekan-rekan karang taruna. Tapi, agar lebih menguatkan lagi, mungkin bapak bisa mengemukakan visi dan misi bapak sebagai calon kepala desa. Sehingga nanti jika kami ditanya oleh anggota karang taruna: mengapa harus memilih anda, kami bisa menjawabnya". Kalimat yang terakhir, sebenarnya hanya galagasi saja.


Ditanya visi-misi, apa jawabnya? Dia menjawab tentang tugas seorang kepala desa. Pelayanan, pembangunan, dan kesejahteraan rakyat. Itu khan tugas kepala desa, bukan visi-misi!

Aku kembali bertanya, kali ini dengan bahasa yang lebih sederhana: rencana atau target selama besok jika berhasil menjadi kepala desa. Dia menjawab akan membangun jalan-jalan yang rusak dan hal-hal lain yang aku rasa gak penting.

Lagi, aku "nitip": pembangunan mental para generasi penerus desa. Memang pembangunan jalan itu baik, namun pembangunan mental dan spiritual generasi penerus juga tidak kalah penting. Dia menangkisnya dengan alasan ada lembaga desa yang menanganinya: P2A.

Ditanya visi-misi, jawabnya tugas seorang kepala desa. Pembangunan yang dia rencanakan juga terbatas hanya pada pembangunan fisik. Sempit sekali. Persangka ketiga: kurang cerdas dan kurang berwawasan luas.
Tidak puas dengan apa yang dia sampaikan, dia meminta kami untuk lain kali singgah di rumahnya agar dia bisa memberikan visi-misinya. Dia bilang ada tetapi tidak bisa dikemukakan saat ini karena takut salah. Tidak logis. Jika berani mencalonkan sebagai kepala desa, seharusnya dia telah mempunyai garis besar perencanaan. Ingin memperbaiki ini, ingin memperbaiki itu.


Salah satu warga yang sebelumnya kerap sekali membujuk kami sebagai wakil pemuda untuk "meminta" dana kepada sang calon kepala desa, melempar kami dengan kulit kacang. Dengan matanya dia mengisyaratkan agar kami segera mengajukan dana ini-itu. Ah, yang begitu itu belum jelas hukumnya. Kami tidak berani. Kami mengabaikan bujukannya.

Usai acara, kami didekati lagi oleh calon tadi. Dia menunggu kedatangan kami di rumahnya agar dia bisa mengemukakan visi dan misinya. Kesempatan ini aku gunakan untuk mengajukan titipan lagi: lapangan kerja bagi pemuda usia kerja tetapi pengangguran. Dia memalingkan wajah. Dari ekspresinya, yang aku tangkap adalah kebingungan dan ketidaktahuan akan mengambil langkah apa.
Sang calon tunggal ternyata juga demikian profilnya. Setelah bubar, kami mencari tahu apakah dia mempunyi gelar kesarjanaan. Memang itu bukan hal utama, namun itu bisa menjadi tolak ukur ketajaman pikiran seseorang. Semakin lama otaknya diasah di dunia pendidikan, semakin runcinglah dia. Sehingga bisa mengambil langkah-langkah yang tepat ketika ada suatu permasalahan.



tobong : rumah (gubuk) yang biasa digunakan warga desa untuk menyimpan dan membakar batu bata.