Sunday, July 23, 2006

jadi raja

Bukan raja buah, bukan raja hutan, tapi raja yang memang raja.
..........................
Ketika mendengar bahwa nanti malam aku akan sendirian di rumah, hati ini tidak segirang sewaktu SMP-SMU dulu. Kalau sudah mendengar bahwa nanti malam kakakku yang semata wayang mau shopping untuk kebutuhan sebulan, aku sigap mengatur rencana. What will I do then ? Biasanya experimen masak mie dengan bumbu divariasi : tambahin merica, vetsin, garam, gula, atau sering juga cuma nambahin cabe merah sebagai zat pewarna alami. Biar tampil menggairahkan untuk dimakan. Meriah eiuy!

Kalo nggak gitu, ya paling nonton TV. Soalnya, pas aku tinggal serumah dengan kakakku, nonton TV pada jam 18.00 - 21.00 adalah sebuah aktivitas yang "haram" dilakukan. Whatever I do, pokoknya jam segitu aku HARUS di kamar. Duh kasihan ya,... gadis pingitan saja kelihatannya ga sebegini parah. Makanya, kalau rumah sepi, I feel that I become a KING. Raja tanpa rakyat. Tanpa topi terbuat dari logam-logam mulia di kepala. Raja yang tidak bisa tunjuk sana tunjuk sini, karena mau ngerasain mie yang lain rasanya saja harus experimen sendiri. Masak sendiri, habis itu perkakas harus dicuci sendiri.

Sekarang hidup di desa, kalau sendirian di rumah, aku lebih merasa ketakutan daripada menjadi raja. Soalnya, seringkali di malam-malam yang gelap, terdengar kayak ada orang berjalan di pekarangan rumah, tepat di sebelah kamarku. Langkah kakinya gemeretak mengusik puing-puing genteng yang memang sengaja kami biarkan begitu saja untuk mencegah agar tanah tidak terkikis, hanyut terbawa air hujan. Belum lagi burung hantu yang sering hinggap di pohon nangka depan rumahku.

12 saja

Hukum alam mengatakan bahwa setiap hal pasti ada batasnya. Limited, gitu. Senang akan ada masanya mencapai titik jenuh, dan akan ada yang merubahnya menjadi something bored.
..............................
Aku akui, memang terkadang 24 hours in not enough. Tapi saat ini dunia seperti membuktikan keputarannya (maksudku, aku mau bilang : dunia menunjukkan kalau dia berputar). Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Adakalanya kita disibukkan dengan berjubel aktivitas, hingga kewajiban yang satu belum selesai, sudah menunggu tugas yang lain yang harus dikerjakan. Namun ada kalanya juga kosong melompong gak ada aktivitas sama sekali.

Kalau dulu sering telontar 24 jam tidak cukup, sekarang : kenapa tidak 12 jam saja ?! Manusiawi (sebuah pembelaan diri). Soalnya, kalau liburan begini, nothing to do. Cuman tidur-bangun-mandi-makan-nonton TV-tidur-bangun-mandi-nonton TV! Aku ingin segera kembali pada kesibukan yang dulu. Aku merindukan muridku : Bunga yang dewasa, Alex yang bandel, Ica yang genit dan suka bertanya kepadaku : Mas Mar sudah punya pacar belum ? Yuszra yang diam-diam menenggalamkan, Apsa yang manja, Aldo yang cakep dan penurut,... oh I miss U all.
Aku ingin 12 jam saja, biar aku lebih cepat bertemu dengan mereka. Biar krisisku juga lebih cepat teratasi.

Tuesday, July 11, 2006

RIBUT! (Episode Skripsi-bagian I)

Orang bilang, hidup kalau no pain, ya no game! Himpunan pain-pain akan terpetakan pada sebuah masa dimana kita dapat mengenangnya.
..............................................


Mentari tengah merapat ke ufuk barat. Kaki ini melangkah payah, menapaki anak-anak tangga di sebuah gedung berplakat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Aku sampai di lantai kedua gedung itu.
Lorong-lorong sepi. Hanya sinar mentari sore yang lemah menerobos jendela kaca dan sedikit mengusir gelap. Langkahku tertuju pada sebuah ruang dosen. Dari balik kaca pandanganku menerobos masuk, tertuju pada sebuah meja di sudut ruang.

Klip kertas warna hitam tampak tertindih beberapa tumpukan kertas lain. Benda itu menjepit usulan skripsiku. Duh kasihan. Selama hampir seminggu dia menunggu dosenku. Hingga sore itu. Melihat kondisinya yang "mengenaskan", aku tergerak untuk menolongnya. Sudah tipis, ditindih pula. Aku masuk dan membongkar tumpukan kertas itu. Proposal skripsiku masih tampak mulus. Halus, dan kian tipis. Penampilannya seakan mengatakan padaku : I have been touched not yet, Mar!
Terbukalah memori saat-saat seminggu yang lalu : di Senin yang menegangkan, saat aku harus menempuh 2 ujian mata kuliah, dan dosen pembimbingku memberikan deadline untuk mengumpulkan proposalku. "Senin siang, saya tunggu di meja saya!", katanya penuh wibawa.

Everything's ready. Tinggal printing. Karena teknologi yang kupunyai belum dilengkapi dengan mesin pencetak, tersusunlah beberapa planning.
Plan A. Aku nebeng ngeprint di tempat Parma.
Plan B. Aku pinjam printer ke Noeg.
Plan C. Aku akan lobi rentalan langgananku untuk mengijinkan aku menginstal latex di komputernya in order aku bisa mencetak proposalku.

Sehari sebelumnya, hati ini kian berdebar. Nanti malam aku harus persiapkan diriku untuk ujian. Hunting printer harus selesai sebelum Maghrib. But, in fact ....
Sepulang dari membeli kertas, ku jalankan planning yang telah ku susun.
"Ma,latex kmu yg kmrn sdh brs blm?Aku nebeng ngeprint,ya."
Sialnya, SMS yang ku kirim tidak juga dibalas-balas. Aku coba missed call. Tuuut,... tuuut,... tuuut,....Ada nada panggil, tapi tidak juga diangkat.
Saatnya menjalankan plan B. Ada-ada saja. Ketika ku dial nomer HPnya,...
"Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi".
Hingga entah untuk kali ke berapa aku pencet tombol Redial, akhirnya ada nada panggil. Diangkat, tapi sepertinya sinyalnya tidak begitu kuat mengirim gelombang suaranya ke satelit dan mengantarnya ke pesawat telponku. Alhasil, aku hanya hola-halo saja tanpa ada jawaban.
Hingga beberapa saat, Noeg mengirim SMS.
"Maaf, aku di luar kota. Sinyalnya lemah. Nanti malam kalau tidak ada acara aku antarkan ke rumahmu. Nanti aku kabari."
Hanya dia yang berusaha menjaga komitmen untuk selalu menulis dengan bahasa Indonesia yang baik (dan benar), pun di SMS. Hati ini sedikit lega.
Tengah menunggu konfirmasi dari Noeg,... .
"new messege received. Read now ?"
Yes! Of course!

"Mar,maapAqTdKluarMaMasku.KloMoNgprntDtgAja.SdhLmAq g gunaknLatex.G thPaBsDigunainPaGa."

"Makasih.Td aku jg coba pinjm ma tmn. Nanti mlm klo jadi mo dianter ke rmhku.Doain aj moga jadi."
Menjelang Maghrib, satu lagi SMS masuk ke HPku.
"Maaf, nanti malam aku ada acara jagong sama keluarga ke Solo. Jadi tidak bisa"
Debar hati kian menjadi. Noeg tidak bisa mengantarkan printernya. Tinggal 1 planning lagi.

Selesai ujian, Dosen pembimbingku tampak duduk dengan melipat kakinya, bermain Solitaire yang ada di komputer. "Wait for me, Pak! Saya harus ngeprint dulu." Kata hatiku. Pascaujian yang biasanya pikiran disibukkan dengan mengkalkulasi jawaban yang : Yakin benar, Samar-samar, tidak yakin, dan tidak bisa, kini hal-hal itu sirna. Hanya satu hal : Hunting printer!
Mission's begin! Aku berhasil melobi si empunya rental. Tapi sayangnya, Latex yang sedikit "belagu" (maaf), yang biasanya bisa diinstal di WinXp atau Win9x, tidak bisa diinstal di komputer rental yang menggunakan WinMe.
Seharian penuh hanya proposal yang diurus. Hingga perut telantar! Hiks...!
Melihat proposalku yang belum tersentuh, aku mengirim SMS ke dosen pembimbingku.
"Pak, Senin kemarin proposal skripsi saya sudah saya taruh di meja Bapak. Sudah dibaca belum ?"
"Sdh saya lihat", jawabnya singkat.
"Trus, kapan bisa saya ambil ?"
"Besok siang"
"Kita perlu ketemu tidak, Pak ?Kalau sesudah jam 1 bisa tidak? Soalnya saya harus mengurusi PSBOnline sampai jam 1." Sebuah balasan yang kupikir agak naif. Sayangnya kesadaran itu timbul setelah aku terima laporan : messege received.
"Terserah". Duuh,... hati ini kian diliputi penyesalan.
"Besok saya usahakan bertemu dengan Bapak. Bapak ke kampus jam berapa ?"
Kalau aku bisa tahu dosen pembimbingku jam berapa ke kampus, aku bisa atur agendaku : sampai jam berapa harus mengurusi PSBOnline dan jam berapa harus go to campus.
Tapi kelihatannya pak dosen sudah terlanjur anyel. Jam 3 ku kirim sms, sampai maghrib belum juga ada balasan. Timbul inisiatif untuk menghubungi telpon rumah.
"Halo, Pak *** ada ?"

"Saya sendiri. Siapa ini ?"

"Ini Mar, Pak"

"Hmm,....Ngopo ?"

"Besok ke kampus jam berapa, Pak ?"

"Yo terserah aku, to! Arep ngopo kowe ?"

Aku tersentak. Nafas ini serasa berhenti di tenggorokan.

"HALO!"

"E,.. iya, Pak"

"Kowe arep ngopo?"

"Mau konsultasi,Pak"

"Yo wis, sesuk digoleki neng kampus!RIBUT, wae!"
Beberapa lama aku terdiam di dalam bilik wartel. Lemas. Kepayahanku menjadi-jadi. Payah luar-dalam.