Thursday, September 27, 2007

alifia

Alifia berpakaian lusuh. Rambutnya tipis, sebahu. Kulitnya makin nampak legam ditimpa mentari yang bersinar terik siang itu. Gadis kecil yang sejak beberapa hari lalu hampir tidak pernah absen dari pandangan mata ketika aku melewati lampu lalu lintas di perlimaan itu.

Beberapa hari yang lalu, ketika aku terhenti oleh lampu merah, dengan tangan tengadah dia mendekat. Lalu menjauh dengan tangan kosong. Maaf. Waktu itu, seingatku tidak ada uang di saku celana. Lagi pula, aku pikir akan terlalu lama untuk mengeluarkan dompet dan mengambil uang "terkecil" untukmu. Keburu lampu hijau.

Tidak pada hari kemarin. Lagi, dia merapat ke kendaraanku. "Mas, kasihan saya, Mas. Dari pagi belum makan", emisnya dengan tangan tengadah. Sejurus dia melirik bungkusan karton yang aku gantung di kendaraan. Tahu-tahunya dia kalau bungkusan itu berisi makanan. Ku ambil, ku tengok untuk memastikan tidak ada barang berharga milikku yang ada di dalamnya. Tidak ada. Kuulurkan padanya. Nih, burger ini menjadi rejekimu, bukan rejekiku.

Siang ini, ketika lampu merah menghentikan laju kendaraanku di perlimaan yang sama, kulihat Alifia di seberang jalan. Hendak menyeberang menyusuri zebra cross. Wajahnya muram dan tampak kesal dengan seseorang. Kakinya menendang-nendang kecimpring yang sering dia gunakan sebagai iringan nada sumbang yang dia lantunkan. Di seberang jalan, di sudut yang lain, terlihat ibu Alifia. Berteduh di bawah kresek yang terikat dengan pepohonan. Sedang "neteki" adik Alifia.

Tuesday, September 25, 2007

mengaji


Yah, kalau urusan ngaji di desa, tinggal "betah-betahan". Pihak mana yang akan lebih lama bertahan. Santri, ataukah ustadznya. Dari yang sudah-sudah, santri mengalahkan ustadznya. Jelas saja, berangkat dari rumah mendapat uang saku dari ibu, di mesjid ketemu temen, trus gojegan atau jajan kalau pas ada yang menjual jajan. Belum lagi kalau ada warga yang sedang dilapangkan rizki atau bahkan ustadznya sendiri, mengeluarkan beberapa ribu untuk membeli snack untuk dibagikan kepada mereka. Ben seneng. Ben sing melu akeh. Tapi, pas santrinya lumayan banyak, giliran ustadznya yang kewalahan. Tidak bisa mengatasi anak yang terlalu banyak. Kalau ngaji, santri malah rame dewe-dewe. Kalau ditanya orang tua perihal ulah mereka, mereka menjawab: lha gurune kurang galak, kok. Weleh...

Perlu dicari ustadz lagi. Telah diketok palu, bahwa karang taruna pada Ramadhan tahun ini mengadakan TPA. Bukan untuk anak-anak. Tapi untuk karang taruna itu sendiri. Ini dilakukan dalam upaya perburuan SDM yang nantinya bisa dijadikan ustadz-ustadzah ngaji di mesjid. "Mulang" anak-anak yang besar tekadnya itu.

Hari pertama
Ba'da tarawih, lima pemudi telah duduk bersandar di dinding masjid. Menunggu dimulainya TPA. Yang pemuda juga ada lima. Hanya seperempat dari jumlah anggota karang taruna. Sebuah awal yang lumayan. Ternyata, anggota karang tarunanya hanya 10. Lima pemudi, lima pemuda. APA KATA DUNIA ???!!!

Hari kedua
Satu pemudi terevolusi. Mungkin baru "M" (Malu, Males, Menstruasi - coret yang tidak perlu) Wis rapipi eh, rapopo. Tinimbang ora ono babar blas.

Hari ketiga
Kini tinggal tiga pemudi. Mereka pun berangsur-angsur lenyap dari masjid, pulang. Malu kalau hanya trio saja. Pemudanya juga ikut-ikutan. Lha kowe mulih, kok. Aku yo melu mulih no.... Akhirnya, satu ustadz dan dua santri. Tadi pas kultum sebenarnya juga sudah diingatkan oleh khatib: SEMUA anggota karang taruna harus ikut mensukseskan program ini. Yang sudah ada di masjid jangan pulang dulu, yang masih ada di rumah harus segera ke masjid.

Monday, September 24, 2007

kurang eL

Namanya Muhammad Nabil. Di kelas dua ini, kemampuan menulisnya masih sedikit payah. Pernah dalam suatu test, dia salah menulis namanya sendiri. Mungkin karena kurang konsentrasi. Muhammad Nabi. Lhah, kurang "l". Untung saja namanya tidak tertulis terbalik: Nabi Muhammad.

Pada pelajaran science, aku menerangkan perihal seaweeds yang bisa diubah menjadi jelly. Aku lontarkan pertanyaan kepada mereka, kenapa seewead yang habitatnya di laut tidak membuat jelly terasa asin. Aku menyinggung tentang rasa air laut. Lalu Nabil berkata, "Yanda, kenapa air laut itu rasanya asin?". Sedang aku memikirkan jawaban yang bisa ditangkap oleh pikiran mereka, Nabil kembali berkata, "Aku tahu, Yanda. Karena ikannya keringetan dikejar-kejar nelayan terus"
Lheh, darimana dia dapet lelucon ini.

"Terus, kenapa manusia takut sama hujan ?", dia kembali melempar tebakan kepadaku. Lagi, belum sempat aku menjawab,...
"Karena hujan datangnya keroyokan", dia memberiku kunci jawabannya.

Usut punya usut, ternyata dia peroleh lelucon itu dari bungkus permen karet yang dulu sering dia beli.